Matras News- Hingga saat ini, hanya tiga produk pangan yang diwajibkan difortifikasi di Indonesia: garam beryodium, tepung terigu, dan minyak goreng sawit. Padahal, fortifikasi pangan dinilai sebagai solusi efektif untuk mengatasi kekurangan zat gizi mikro seperti anemia, defisiensi vitamin A, dan gangguan kesehatan lainnya.

Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) menegaskan, meski program fortifikasi telah berjalan puluhan tahun—sejak era kolonial Belanda untuk yodium dampaknya terhadap peningkatan gizi masyarakat masih perlu dievaluasi lebih mendalam. “Data tentang efektivitas program ini masih terbatas, padahal fortifikasi bisa menurunkan beban malnutrisi, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan generasi lebih sehat,” ujar Dra. Nina Sardjunani, MA, Direktur KFI, dalam acara Diseminasi Profil Konsumsi Pangan Fortifikasi di Jakarta, Kamis (26/6).
Berdasarkan analisis data SUSENAS 2023, sekitar 81,2% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium, sementara 15,9% masih menggunakan garam non-fortifikasi. Namun, angka ini belum mencakup konsumsi garam dari makanan olahan industri atau jasa makanan, seperti restoran dan katering. “Ini menunjukkan masih ada celah dalam distribusi dan kesadaran masyarakat,” jelas Prof. Drajat Martianto, Co-Direktur KFI.
Industri tepung terigu, seperti Bogasari, telah memfortifikasi produknya sejak 2001 dengan tambahan vitamin A, zat besi, asam folat, dan zinc. Franciscus Welirang, Ketua Dewan Pengawas KFI sekaligus Ketua Aptindo, menyatakan, “Fortifikasi adalah investasi sosial. Biayanya kecil, tapi dampaknya besar bagi masa depan bangsa.”
KFI mendorong pemerintah untuk memperluas cakupan fortifikasi wajib mengingat masih banyaknya wilayah dengan kasus defisiensi gizi mikro. “Edukasi dan akses pangan fortifikasi hingga ke pelosok desa harus ditingkatkan,” tegas Welirang.
Dengan pendanaan dari Bill & Melinda Gates Foundation, KFI berharap laporan ini menjadi acuan kebijakan untuk memperkuat program fortifikasi nasional. “Kami ingin memastikan tidak ada lagi masyarakat yang kekurangan gizi mikro hanya karena ketiadaan akses,” tutup Nina.