Matras News, Jakarta – Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, menegaskan bahwa lembaganya tidak memiliki kewenangan untuk terlibat langsung dalam program pendidikan karakter yang mengirim anak bermasalah ke barak militer.
Pernyataan ini menanggapi permintaan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menginginkan KPAI berpartisipasi dalam program kontroversial tersebut.
“KPAI memiliki tugas pengawasan sesuai amanat undang-undang, bukan pelaksana program. Kami akan terus memantau agar hak-hak anak tetap terpenuhi, termasuk dalam program apapun yang melibatkan mereka,” tegas Ai usai rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada, Rabu 21 Mei 2025.
Ai menekankan bahwa KPAI akan mengambil langkah tegas jika ada pelanggaran hak anak, baik dalam skala kecil maupun besar. “Prinsip kami jelas: satu anak pun yang terdampak harus menjadi perhatian. Apalagi jika program ini melibatkan ratusan anak dengan metode yang belum jelas dasar hukumnya,” ujarnya.
Gubernur Dedi Mulyadi sebelumnya mengusulkan program pendidikan karakter bagi anak bermasalah, seperti pelaku tawuran, narkoba, atau kenakalan remaja, dengan melibatkan pelatihan disiplin di lingkungan militer.
Namun, rencana ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, termasuk pegiat hak anak yang khawatir terhadap potensi kekerasan dan trauma psikologis.
Ai mengingatkan agar semua pihak merujuk pada regulasi yang berlaku, termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak. “Kami mendorong pemerintah daerah untuk memastikan bahwa program apapun yang melibatkan anak harus berlandaskan prinsip perlindungan, bukan sekadar pendisiplinan,” tegasnya.
Pakar pendidikan anak, Seto Mulyadi, juga ikut angkat bicara. “Pendidikan karakter penting, tetapi harus melalui pendekatan psikologis, bukan kekerasan. Anak perlu dibimbing, bukan dihukum,” ujarnya.
KPAI berencana menggelar pertemuan dengan Pemprov Jawa Barat untuk membahas lebih lanjut program ini. Ai menegaskan, jika ditemukan pelanggaran, KPAI tidak segan melaporkan ke Ombudsman atau bahkan penegak hukum.
Lalu apakah program ini akan terus dilanjutkan atau dikaji ulang?