Matras News – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membandingkan pendekatan Indonesia dalam mengelola sumber daya alam (SDA) dengan negara-negara yang kini telah maju.

Menurutnya, banyak negara di era 1940-an hingga 1960-an melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap hutan dan tambang untuk membangun ekonomi, namun kini Indonesia justru mendapat kritik saat ingin melakukan hal serupa demi kesejahteraan rakyat.
“Pada saat itu mereka belum maju seperti sekarang, maka mereka mengambil sumber daya alam mereka itu, hutannya dibabat, tambangnya diambil, dan mungkin lingkungannya pada saat itu tidak lebih baik dari apa yang kita lakukan sekarang,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta Geopolitical Forum IX/2025 (JGF 2025)” pada, Selasa 24 Juni 2025.
Bahlil menyoroti respons dunia internasional terhadap upaya Indonesia mengoptimalkan SDA melalui program hilirisasi.
Padahal, kata dia, langkah ini bertujuan meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional dan menciptakan lapangan kerja. Namun, alih-alih mendapat dukungan, Indonesia justru kerap menghadapi penolakan.
“Ketika kita sebagai negara berkembang ingin menyejahterakan rakyat, tiba-tiba banyak yang terganggu. Ini yang harus kita pertanyakan: apakah ada standar ganda?” tegasnya.
Bahlil mencontohkan sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara Eropa yang dahulu mengandalkan eksploitasi SDA untuk pembangunan infrastruktur dan industri. Setelah mencapai kemajuan, mereka kemudian menerapkan kebijakan lingkungan yang ketat.
“Mereka dulu mengeksploitasi habis-habisan, tapi sekarang ketika kita ingin memanfaatkan SDA dengan prinsip berkelanjutan, kita malah dihujani kritik,” ujarnya.
Ia menegaskan, Indonesia tetap berkomitmen menjaga lingkungan namun tidak boleh dihalangi untuk memanfaatkan kekayaan alam demi kemandirian ekonomi. Program hilirisasi, seperti pengolahan nikel menjadi baterai kendaraan listrik, disebutnya sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam menciptakan nilai tambah.
Forum JGF 2025 kali ini mengangkat tema “Global Resource Competition and Indonesia’s Strategic Position”. Bahlil menekankan, Indonesia harus mampu bersikap tegas dalam diplomasi energi dan perdagangan SDA agar tidak terus bergantung pada pasar global.
“Kita tidak boleh hanya jadi pengekspor bahan mentah. Hilirisasi adalah jalan untuk berdikari, dan ini hak setiap bangsa,” tegasnya.
Dengan kebijakan yang dinilai pro-ekonomi namun tetap mempertimbangkan keberlanjutan, Indonesia terus berada di pusat perdebatan global tentang tata kelola SDA.
Tantangan ke depan adalah memastikan bahwa pemanfaatan kekayaan alam benar-benar berpihak pada kepentingan nasional tanpa mengabaikan komitmen lingkungan.