Matras News, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melindungi anak-anak Indonesia dari tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Kerja sama itu diwujudkan melalui penandatanganan nota kesepahaman dan kesepakatan (MoU) yang melibatkan anak-anak dalam pencegahan TPPU.
Penandatanganan dilakukan oleh Ketua KPAI Ai Maryati Solihah dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di Kantor KPAI di Jakarta.
Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, mengatakan bahwa MoU tersebut akan menjadi landasan dan pedoman dalam pelaksanaan kerja sama kedua belah pihak sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya masing-masing.
“Kerja sama ini merupakan langkah penting dalam melindungi anak-anak Indonesia dari manipulasi untuk keuntungan finansial,” ucapnya.
Ai mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan pihaknya sejak 2021-2023, terdapat 481 kasus pengaduan anak korban pornografi dan kejahatan siber ke KPAI, serta 431 kasus anak korban eksploitasi dan perdagangan anak.
Menurutnya, data tersebut hanya sebagian kecil dari yang sebenarnya terjadi di lapangan, sehingga perlu langkah-langkah optimal ke depannya.
Data KPAI menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban eksploitasi ekonomi dan seksual, serta anak korban kejahatan pornografi dari dunia maya, sering kali menjadi korban prostitusi online dan eksploitasi ekonomi.
“Beberapa permasalahan yang menimpa anak-anak dalam pengaduan ke KPAI termasuk jual-beli konten pornografi anak yang dikendalikan orang dewasa melalui pembayaran digital,” ujar Ai.
Ia berharap kerja sama antara KPAI dan PPATK dapat menjadi peta untuk menetapkan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan TPPU yang melibatkan anak.
Pada kesempatan yang sama, Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, membeberkan sejumlah data mengenai anak yang terlibat atau menjadi korban tindak pidana judi online (judol) dan prostitusi online.
PPATK mencatat adanya peningkatan risiko keterlibatan anak dalam aktivitas judi online. Berdasarkan data terakhir tahun 2024, anak-anak bertransaksi judol berdasarkan usia di bawah 11 tahun sebanyak 1.160 orang dengan frekuensi transaksi 22.000 atau senilai lebih dari Rp3 miliar.
Untuk usia 11-16 tahun, terindikasi 4.514 anak bertransaksi dengan frekuensi 45.000 atau senilai Rp7,9 miliar. Sedangkan usia 17-19 tahun, tercatat 191.380 anak dengan 2,1 juta transaksi atau senilai Rp282 miliar.
Jika ditotalkan, anak-anak yang terindikasi terlibat judol dari usia <11 tahun hingga 19 tahun berjumlah 197.054 anak dengan total deposit Rp293,4 miliar dari 2,2 juta frekuensi transaksi.
Sebaran provinsi menunjukkan Jawa Barat memiliki jumlah tertinggi anak yang terlibat judol, yakni 41.000 anak dengan 459.000 transaksi atau senilai Rp49,8 miliar. Kota Jakarta Barat menempati angka tertinggi untuk kota administrasi dengan 4.300 anak, 68.000 transaksi, atau Rp9 miliar.
Lebih lanjut, Ivan mengungkapkan bahwa Kecamatan Cengkareng memiliki frekuensi transaksi terbanyak dengan lebih dari 14.000 transaksi.
Namun, dari segi nominal, anak-anak di Kecamatan Karawaci memiliki jumlah deposit judol terbesar dengan frekuensi transaksi lebih dari 7.000 dan hampir menembus Rp5 miliar.
Selain judi online, PPATK juga mencatat risiko anak terpapar pornografi. Dalam dua tahun terakhir, PPATK telah menyampaikan empat hasil analisis kepada Kepolisian RI terkait pornografi dengan angka transaksi senilai Rp4,9 miliar.
PPATK menemukan pola serupa dalam transaksi prostitusi anak, melibatkan 24.049 anak usia 10-18 tahun dengan 130.000 transaksi atau senilai Rp127,371 miliar.
Ivan menekankan pentingnya menangani masalah ini bersama-sama. “Kami melihat beratnya tugas yang diemban KPAI jika tidak disupport bersama-sama.
Untuk itu, PPATK dan KPAI berkomitmen untuk terus memperkuat kerja sama ini demi melindungi masa depan anak-anak Indonesia serta menciptakan Indonesia yang bebas dari tindak pidana pencucian uang yang melibatkan anak,” tutup Ivan.