Advertisement Section
Header AD Image
Dua Kebiasaan Sehari-hari Penyebab Besarnya Penggunaan Air dan Polusi

Dua Kebiasaan Sehari-hari Penyebab Besarnya Penggunaan Air dan Polusi

Matras News – Hari Air Sedunia baru saja dirayakan, dan “menutup keran air” telah menjadi simbol dalam rangka memperingati tanggal tersebut.

Namun, sebenarnya penelitian ilmiah mengungkapkan beberapa kebiasaan dan produk yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya menyembunyikan penggunaan air dan polusi yang jauh lebih besar.

“Contohnya adalah makanan yang kita konsumsi sehari-harinya. Setiap kali kita mengonsumsi produk hewani, kita memiliki jejak air yang sangat signifikan”, jelas Yohana Sadeli, Pengelola Program Nutrisi Esok Hari, sebuah program yang mendorong pola makan berbasis nabati untuk kesehatan manusia dan kelestarian planet kita.

Keju, ikan dan budidaya udang, serta daging sapi merupakan beberapa makanan yang paling banyak membutuhkan air untuk produksinya.

Diperkirakan untuk memproduksi 1 kg keju saja membutuhkan 5.605 liter air, sedangkan 1 kg tahu hanya membutuhkan 149 liter hampir 38 kali lebih sedikit.
Satu liter susu sapi sama dengan lebih dari 628 liter air.

Water Footprint Network memperkirakan bahwa menerapkan pola makan berbasis nabati selama sebulan di Indonesia dapat menghemat 688,2 liter air.

Kenyataan bahwa publik tidak dapat secara visual mengasosiasikan produk hewani dengan semua air “tersembunyi” yang digunakan merupakan sebuah tantangan.

“Saat orang membeli sepotong keju di supermarket, air mungkin bukan hal pertama yang terlintas dalam pikiran mereka padahal sudah seharusnya demikian,” ungkap Yohana.

Selain menggunakan air tawar dalam jumlah besar, industri tersebut juga bertanggung jawab atas pencemaran air yang berlebih, seperti eutrofikasi dan residu pestisida.

Bahan kimia tersebut dapat menciptakan zona mati, yang membahayakan kehidupan akuatik, dan kesehatan manusia bila dikonsumsi melalui air atau makanan yang terkontaminasi.

Penggunaan antibiotik dalam peternakan pabrik juga dikaitkan dengan kontaminasi air tanah melalui kotoran hewan. “Prevalensi bakteri resisten antibiotik yang meluas telah didokumentasikan secara global,” menurut UNESCO.

“Jumlah polusi plastik yang disebabkan industri perikanan juga mengejutkan. Sebagai gambaran, meskipun pencucian tekstil menyumbang 3,2% dari seluruh plastik yang dibuang ke lingkungan, jaring ikan dan peralatan industri perikanan kenyataannya mencemari dua kali lebih banyak dari industri tekstil, atau sekitar 7,2%,” ungkap Yohana.

Namun lemari pakaian kita juga tidak bisa diabaikan – faktanya, produksi dan konsumsi barang fesyen menjadi kebiasaan kedua yang perlu ditinjau karena menyembunyikan jejak air yang besar.

Perubahan dimulai dari rumah sendiri

Setelah dialog yang dilakukan dengan Nutrisi Esok Hari, dua institusi Jiwa Laut and Rella’s Kitchen,  sepakat untuk mendorong lebih banyak konsumsi makanan berbasis nabati di komunitas mereka.

Kerjasama Nutrisi Esok Hari dengan dua institusi ini dapat memberi dampak hingga lebih dari 120.000 hidangan dalam setahun yang lebih sehat dan baik bagi lingkungan.

“Kerjasama ini  ini merupakan contoh bagaimana perubahan kecil dapat memberikan kemajuan besar bagi bumi dan kesehatan manusia. Kami sangat senang bisa menjadi bagian dari perubahan,” ungkap Rella Johan, pemilik Rella’s Kitchen.

“Air merupakan sumber daya yang terbatas. Jika kita ingin menyelamatkannya, kita perlu mulai melakukan perubahan baik di tingkat industri maupun di rumah kita seperti beralih ke pola makan berbasis nabati”, saran Yohana.

Melalui program Nutrisi Esok Hari, institusi akan mendapatkan bimbingan dan platform untuk dapat bertukar pikiran dengan komunitas mengenai cara beralih ke makanan berbasis nabati yang sehat dan ramah lingkungan, dan semuanya gratis.

Tentang Nutrisi Esok Hari

Nutrisi Esok Hari merupakan program rintisan yang bertujuan membantu, secara gratis dan kolaboratif, semua institusi yang ingin menerapkan setidaknya satu menu nabati mingguan di ruang makan dan kantin mereka.